Pages

Prospek "Telemedicine" di Era 3G

Meskipun kehadirannya disambut dengan penuh harap, kemampuan 3G untuk meningkatkan produktivitas masih diragukan. Hal ini juga ditunjukkan oleh iklan 3G di teve yang tidak jauh-jauh dari entertain¬ment dan fun. Manfaat 3G untuk aktivitas yang lebih serius (baca: meningkatkan produktivitas) be¬lum dipromosikan secara opti¬mal. Salah satunya adalah untuk telemedicine.

Telemedicine pada prinsipnya adalah penyelenggaraan pelayanan kedokteran secara jarak jauh. Bentuknya bisa bermacam-macam, ada yang berlangsung secara real time ada pula yang tidak (asynchronous).

Fungsinya pun bervariasi, dapat berupa telelearning (untuk mendukung pembelajaran/pendidikan kedokteran), telekonsultasi (konsultasi kedokteran jarak jauh dengan dokter spesialis atau yang lebih berpengalaman), sampai ke pelayanan kedokteran langsung seperti telesurgery (praktik bedah jarak jauh). Ham¬pir semua spesialisasi dalam ke¬dokteran dapat menerapkan te¬lemedicine sehingga akan dikenal berbagai istilah seperti teleradiologi, telepsikiatri, telepatologi, sampai ke teledermatologi.

Praktik kedokteran sebenarnya biasa menerapkan telemedi¬cine menggunakan telepon, misahiya seorang dokter yunior atau perawat melakukan konsultasi pasien dengan dokter senior melalui telepon. Dokter dapat memberikan instruksi melalui telepon yang kemudian akan diikuti oleh pihak pertama.

Teknologi informasi dan komunikasi dapat memfasilitasi komunikasi medis yang kompleks. Tidak hanya menyampaikan in¬formasi secara lisan dari pihak pelapor, tetapi dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, dokter di tempat yang jauh dapat menerima informasi medis yang lebih rinci.

Dokter spesialis kulit dapat menyaksikan langsung gambaran rinci (bentuk, warna, regularitas) ujud kelainan kulit pasien yang dirujuk mesMpun berada di tem¬pat yang berbeda. Seorang ahli radiologi dapat membaca gambar film radiologis pasien yang dikirim dari sejawat atau fasilitas kesehatan lain secara cepat

Pada intinya, kebutuhan telemedicine tumbuh karena adanya kesenjangan pelayanan kesehat¬an. Umum tahu, persebaran dok¬ter di Indonesia tidak merata, apalagi dokter spesialis. Dokter sebagai makhluk sosial memang cenderung hidup di daerah berkemampuan ekonomi baik.

Database Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, jumlah spesialis anak di Jakarta pada tahun 2005 tercatat 443 (rasio 5,29 SpA per 10OOOO penduduk), sedangkan di Papua hanya 7 (rasio 0,32 SpA per lO0,OOO penduduk). Semakin padat penduduk dan tinggi kemampuan ekonomi suatu daerah, layanan fasilitas kesehatan akan semakin spesialistik dengan teknologi yang yang lebih tinggi.

Di sisi lain, pemerintah pusat kesulitan melakukan upaya menempatkan dokter di daerah terpencil secara berkesinambungan. Selain itu, masih banyak rumah sakit di luar Jawa yang kekurangan tenaga spesialis.

Dengan kapasitas bandwidth kesehatan yang tinggi, 3G merupakan teknologi alternatif untuk penerapan telemedicine. Kombinasi video call, pengiriman data medis yang kompleks (gambar radiologi, hasil pemeriksaan patologi anatomi) sampai ke rekaman biosignal(EKG, EEC) dapat dilakukan menggunakan teknologi ini.

Sebagai suatu inovasi praktik kedokteran, tentu saja profesi 30 pendokter akan membandingkan depua hangan gold standard praktik ke 100000 dokteran yang konvensional. Misalnya, apakah akurasi pembacaan gambar radiologi digital yang dikirim melalui 3G setara dengan pembacaan gambar ra¬diologi secara konvensional?

Selain itu, meskipun bermanfaat untuk menjembatani daerah berfasilitas kesehatan terbatas, dukungan logistik medis yang standar tetap diperlukan. Jangan sampai, jika dokter spesialis memberikan resep obat tertentu, ternyata di tempat pengirim pasien tidak tersedia obatnya.

Aspek lainnya adalah mekanisme pembiayaan. Siapa yang akan membiayai biaya telekomunikasi tersebut dan bagaimana mekanisme pembayarannya? Karena sebagian besar daerah de¬ngan fasilitas kesehatan terbatas adalah daerah miskin, apakah pe¬merintah juga akan memberikan subsidi pembiayaan sebagaimana pemerintah menerapkan prog¬ram asuransi kesehatan masya-rakat miskin (Askeskin)?

Atau seharusnya menjadi tanggung jawab operator sebagai bagian dari universal service obligation? Dalam banyak proyek percontohan telemedicine, salah satu faktor yang mengganjal ke-berlangsungan program tersebut adalah masalah biaya.

Aspek etika juga tidak kalah penting. Jika terjadi medical error, siapa yang akan menanggung? Dokter yang merujuk, dok¬ter yang dirujuk, atau operator? Terkait dengan ini, pada bidang radiologi perlu ditetapkan stan¬dar minimal tingkat kompresi gambar radiologi digital

Ujung-ujungnya akan berdampak pada sertifikasi peralatan ra¬diologi digital. Jika dalam UU Praktik Kedokteran, dokter ha¬nya boleh berpraktik di tiga ternpat, apakah dengan menggunakan layanan 3G dan menerima pasien dari berbagai wilayah, baik dari dalam maupun luar Indo¬nesia, merupakan pelanggaran?

Mengingat peliknya implikasi 3G untuk telemedichine, barangkali perlu dilakukan uji laik telemedicine (ULT). Sayangnya belum ada suara dari Departemen Kesehatan maupun IDI tentang prospek 3G; Rancangan Undang-undang Praktik Kedokteran pun mengatur mengenai hal ini.

Saat ini operator terus-menerus .memperluas pasar 3G. Akan tetapi, prospek dan potensinya bagi hal-hal serius seperti telemedicine) masih belum tergarap. Karena potensinya memenuhi hajat hidup orang banyak dan mumpung belum banyak daerah yang memiliki akses terhadap teknologi ini, sudah sewajarnya pemerintah membuat regulasi. Atau, tidak usah tunggu regulasi, biarkan rakyat (pasar) yang menentukan.

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.