Pages

Mengirim Data Kualitas Udara Melalui Merpati

Guna kepentingan penelitian tertentu, para peneliti terkadang memerlukan hewan sebagai modelnya. Sebut saja misalnya tikus. Hewan pengerat ini memang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan penelitian para ahli di bidang tertentu, seperti dunia kesehatan atau farmasi. Telah banyak obat-obatan yang berhasil diciptakan akibat pertolongan hewan ini.

Tdak bedanya dengan dunia kesehatan, di dunia teknologi .nformasi juga tidak bisa jauh dari bantuan hewan. Namun Dedanya, bukanlah tikus tetapi burung merpati. Burung merpati?

Ya, adalah Beatrice da Costa, seorang professor dari Universitas California menggagas burung merpati digunakan sebagai tenaga bantuan untuk menginformasikan data kualitas udara ke publik. Menurut da Costa, ide untuk menggunakan burung merpati tidak terlepas dari sejarah perang dunia ke II. "Jadi saya mulai berpikir, apa yang bisa kita lakukan saat ini dengan merpati-merpati tersebut dan berguna untuk kepentingan sosial," ujarnya.

Dalam suatu proyek gabungan dari berbagai kepentingan ilmu pengetahuan dengan seni dan aktivisme, burung merpati tersebut dibekali ransel berisi monitor GPS (Global Positioning System) dan sensor polusi serta peralatan pemancar yang akan mengirimkan data yang dikumpulkannya ke sebuah alamat blog yang didukung peta Google. Hasilnya, pengunjung situs blog tersebut dapat mempelajari polusi udara di daerah tertentu yang dilintasi burung merpati.

Untuk mempraktekkan gagasannya ini, da Costa sudah mempersiapkannya sejak jauh hari tepatnya setahun lalu. Dengan dibantu dua orang mahasiswanya, da Costa mempersiapkan burung merpati seberat 400 gram sebagai model penelitian. Meski diakuinya tidak menemukan kesulitan dalam proses pemilihan modelnya, da Costa mengakui dalam pengerjaannya membutuhkan ekstra hati-hati. Mengingat munculnya seruan dari aktivis pembela hak-hak hewan yang menganggap proyek itu bisa membuat burung merpati cedera.

Tetapi da Costa berhasil meyakinkan kalau proyeknya itu akan membantu penginman informasi kualitas udara secara real time yang dapat diakses langsung publik, ilmuwan maupun non ilmuwan. Merpati-merpatinya juga akan melengkapi data milik stasiun tetap di atas tanah.

Dalam prakteknya nanti, merpati-merpati itu akan terbang selama setengah jam antara ketinggian 90-150 meter di langit Silicon Valley dan sekitarnya. "Ini tentang mengembangkan kesadaran, dan memikirkan kembali cara kita •mengumpulkan data. Dalam kasus ini kita melakukannya dengan cara yang menyenangkan," terang da Costa seperti dikutip Reuters.

MERPATI SEBAGAI SATELIT LOKAL
Ide Beatrice da Costa untuk memanfaatkan burung merpati sebagai pengirim data, sebenarnya boleh dibilang bukanlah hal baru. Sejak dahulu burung merpati memang dikenal sebagai jenis burung yang memiliki kehandalan dalam urusan mengirim pesan dari satu tempat ke tempat lain yang berjarakcukup jauh dan tepat lokasi sesuai tujuan. Sebagai buktinya seperti yang terjadi di tahun 1150, dimana merpati digunakan sebagai pengirim berita. Tidak hanya itu, di tahun 1850, Paul Reuter, pendiri kantor berita Reuters, mengirimkan berita dan harga-harga barang antara ibukota Belgia, Brussels, dan kota Aachen di Jerman menggunakan 45 ekor merpati. Lantas apa yang menyebabkan hewan bernama ilmiah Columbia Livia mampu melakukan tugas seperti itu?

Memang banyak penjelasan yang menjawab pertanyaan tersebut. Namun dari sekian penjelasan yang ada, banyak yang mempercayai karena kemampuan yang dimiliki merpati yakni merasakan medan magnet. Seperti tiga tahun lalu, Cordula Mora, pakar biologi di Universitas North Carolina di Chapel Hill mengadakan satu penelitian yang memperkuat teori yang menyatakan burung merpati menggunakan medan magnet bumi untuk memandu arah terbang mereka.

Dalam penelitiannya, Cordula Mora menempatkan sejumlah merpati di sebuah terowongan terbuat dari kayu. Ketika kumparan magnetik di permukaan luar terowongan dinyalakan, medan magnet berkekuatan besar terbentuk di bagian tengah dalam terowongan tersebut. Empat ekor merpati dilatih agar terbang ke arah salah satu ujung terowongan ketika medan magnet dalam terowongan dalam keadaan tak terusik, dan ke ujung lainnya ketika kumparan magnetik dinyalakan. Selanjutnya, kemampuan merpati mengenali medan magnet pun diukur. Merpati-merpati ini terbang ke arah yang tepat dengan tingkat keberhasilan 55 persen hingga 65 persen dari 24 kali percobaan yang dilakukan.

Dari penelitian tersebut, akhirnya ditemukan beberapa kemiripan dalam hal cara kerja antara sistem GPS dan penentuan letak secara magnetik yang dimiliki merpati. Baik merpati dan GPS
ternyata memiliki sarana yang memungkinkan pengiriman data tentang letak pada permukaan bumi. Bila GPS, sistem proses kerjanya data dari satelit diteruskan melalui atmosfer, sebaliknya pada merpati fungsi tersebut diperankan oleh medan magnet bumi. Keduanya memiliki sistem yang dapat menangkap sinyal-sinyal yang datang; yaitu panel-panel pada satelit dan sel-sel yang mengandung butiran magnetik pada paruh merpati.

Sementara kesamaan lain juga ada pada sistem penafsir datanya. Jika GPS dilakukan oleh computer dan perangkat digital lain, sementara merpati otak sebagai pusat pemrosesan kerjanya. Otak melakukan tugas menafsirkan sinyal-sinyal yang diteruskan organ pengindera.

Kendati da Costa dinilai memiliki ide lama, namun setidaknya dengan adanya hasil penelitiannya tersebut sekali lagi dunia teknologi informasi mampu membuktikan selalu melahirkan inovasi-inovasiyang semakin memudahkan manusia dalam berbagai aktifitasnya. Mungkin dengan adanya penemuan merpati sebagai media pengirim data meski harus menggendong ransel berisikan monitor GPS, akan memberikan pemikiran baru untuk mulai mengabaikan satelit jika hanya untuk digunakan dalam skala lokal. Sebab bagaimanapun dengan satelit berarti memerlukan investasi besar.

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.