Pages

Regulasi Pemerintah Buat CP Nakal Sebagian Aturan Jadi Polemik

Sudah sejak lama SMS premium menjadi permasaiahan tersendiri dalam industri tetekomunikasi Tanah Air. Datam perjalanannya, SMS premium sempat menjadi kortten yang hanya diatur oleh content provider (CP) dan operator. Seiring dengan berbagai permasalahan yang timbul kemudian, pemerintah pun terpaksa campur tangan.

Peraturan penyelenggaraan SMS premium yang diatur oleh operator dan CP ternyata banyak memunculkan keluhan dari pelanggan telekomunikasi yang merasa dirugikan.

Berbagai kalangan sempat menyebut tayanan tersebut tidak disertai edukasi dan informasi yang jelas sehingga perlu ada aturan yang tegas untuk melindungi konsumen.

Regulasi di sektor konten atau SMS premium ini kerap dinilai tidak tegas dan kurang komprehensif sehingga membuat iklim bisnis jadi tidak kondusif. Di satu sisi, CP menuai keuntungan dari kendornya regulasi sementara di pihak lain konsumen sering menjadi obyek penderita.

Karuan, penyedia industri konten pun kerap mendapat cap negatif dari berbagai kalangan. Tudingan buruk muncul karena banyak CP yang melakukan praktek nakal menipu konsumen dengan mengakali regulasi yang tidak tegas. Perilaku CP nakal itu membuat CP yang berkomitmen membangun industri terkena getahnya.

Dulu pelanggan yang berlangganan SMS premium sempat dibuat bingung karena keyword yang digunakan berhenti berbeda-beda. Ada yang UNSUB, UNREG, OFF dan tain-lain, sementara edukasi serta informasi yang diberikan dibuat kabur atau tidak jelas.

Itu hanya salah satu contoh trik yang pernah digunakan CP nakal untuk menyedot pulsa pelanggan seenaknya. Masih banyak aksi curang yang kerap dilakukan oleh CP nakal untuk mengelabui konsumen dan minimnya regulasi. Tak pelak, tuntutan akan regulasi yang tegas dan jelas dari pemerintah pun kian mendesak.

Untungnya, setelah penantian panjang karena sempat molor hingga beberapa tahun, aturan mengenai SMS premium yang digodok pemerintah berhasil digulirkan. Tertuang dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 1/ PER/ M.KOMINFO/ 01 / 2009 tentang penyetenggaraan pesan premium dan SMS broadcast yang ditandangani 8 Januari 2009.

Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel) mengklaim aturan tersebut merupakan buah dari Rancangan Peraturan Menkominfo tentang SMS premium yang sudah dikonsultasikan kepada publik.

Sayang, regulasi baru yang ditandatangani Menkominfo, Muhammad Nuh ini ternyata masih menjadi polemik. Tengok saja, perdebatan sengit masih saja terjadikarena aturan terbaru ini belum sepenuhnya diterima pelaku industri terkait. Salah satunya adalah adanya aturan yang bersifat semu dan janggal.

Dari beberapa ketentuan yang digulirkan, beberapa poin utama regulasi tersebut cukup mendapat sorotan. Khususnya mengenai kewajiban mendapatkan izin berupa pendaftaran penyelenggaraan jasa pesan premium kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Sebelumnya Content Provider (CP) alias penyelenggara layanan konten hanya perlu memiliki Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP). Poin lain juga cukup menonjol dan menuai polemik adalah pembebanan Biaya Hak Penyelenggaraan (BMP) Telekomunikasi bagi CP.

Tak heran, Indonesia Mobile Content & Online Content Provider Association (IMOCA), secara tegas menolak beberapa poin karena diklaim bakal mempersulit pelaku usaha. Dalam keterangan pers-nya, Ketua IMOCA, Haryawirasma menuturkan SMS dan multimedia adalah jasa konten, bukan jasa telekomunikasi baik dasar maupun non dasar.

Menurutnya beberapa hal berbeda terjadi dalam beberapa pasal di peraturan itu, khususnya pasal 2 mengenai izin "yang harus dikeluarkan oleh BRTI, dan pasal 6 yang mengharuskan penyelenggara jasa memberikan BMP Telekomunikasi.

Haryawirasma menegaskan BHP Telekomunikasi merupakan satu hal aneh dan bakal semakin rhemberatkan CP, juga bisa menutupi ruang gerak dan kreatifitas CP. IMOCA pun berharap ada petunjuk pelaksanaan yang bisa. diubah sehingga peraturan tersebut tidak akan menyulitkan mereka.

Tak hanya itu, IMOCA menilai fungsi BRTI jadi bias karena adanya pasal 2 dari Permen baru itu. Disebutkan bahwa penyelenggaraan SMS premium harus memperoleh izin yang dikeluarkan oleh BRTI. Padahal, ijin telekomunikasi selama ini dilakukan oleh Kominfo melalui Dirjen Pos dan Telekomunikasi.

la menganggap hal itu akan memperlambat produksi karena mesti menunggu izin keluar dari BRTI. Padahal, untuk keperluan promosi harus dipersiapkan jauh hari, sementara seberapa lama izin itu akan keluar masih jadi tanda tanya.

Namun, pemerintah melalui Menkominfo menegaskan CP tetap harus bayar BHP Telekomunikasi dengan besaran 1 persen dari total pendapatan CP. "Kalau dulu mereka mengklaim bayar lewat operator, sekarang harus bayar langsung. Karena masuk ke PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) lewat kas negara,” ujarnya.

Basuki Yusuf Iskandar, Ketua BRTI menambahkan, surat izin yang dimaksud pada pasal 2 hanyalah sebuah proses yang cukup mudah yang sifatnya hanya berisi form registrasi untuk data. “Prosesnya hanya registrasi berbentuk form saja dan itu sangat mudah dan tidak berbiaya," katanya.

Hal itu menurut BRTI dilakukan untuk mengantisipasi CP nakal yang tidak jelas. Fungsi BRTI dalam hal ini hanya menerima laporan saja, mulai dari alamat perusahaan, bentuk layanan yang dimiliki, dan jumlah pelanggan.

Meski terjadi polemik dan tampaknya masih berbuntut panjang, namun regulasi sudah disahkan. Setidaknya, meski sebagian poin masih berada di wilayah abu-abu namun ada beberapa ketentuan yang cukup mengakomodasi kepentingan konsumen yang selama ini dirugikan.

Beberapa ketentuan yang dibenamkan dalam regulasi ini antara lain CP wajib menyediakan pusat panggilan (call center) dengan nomor khusus yang dapat dihubungi setiap saat selama 24 jam per hari.

Lantas ada poin yang melarang CP mengenakan biaya pendaftaran (registrasi/aktivasi) berlangganan. Juga saat pelanggan meminta untuk berhenti berlangganan (deaktivasi) jasa pesan premium, CP wajib menghentikan layanannya segera setelah permintaan berhenti berlangganan diterima dengan lengkap.

Dalam aturan baru, pengguna pun berhak mengajukan ganti rugi kepada penyelenggara pesan premium atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara jasa pesan premium yang menimbulkan kerugian pada pengguna.

Seiring dengan adanya titik terang perlindungan konsumen dalam hal SMS premium, pemerintah dituntut bertindak tegas terhadap CP nakal. Dalam artian, sanksi administrasi berupa pencabutan izin dan larangan untuk menyelenggarakan jasa pesan premium harus benar-benar ditegakkan.

Di Singapura, tuntutan supaya penyedia layanan SMS atau konten premium via seluler lebih transparan pada konsumen sudah dibertakukan sejak setahun lebih dengan denda tak main-main. Jika CP membandel, dendanya bisa mencapai Rp 6.2 miliar (S$ 1 juta) serta ijin usaha dicabut.

Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan praktek bisnis yang bertanggung-jawab dan kepastian bertindak, juga untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi konsumen. Bahkan, operator pun harus ikut bertanggung jawab. Meski hanya sebagai penyalur konten, operator seluler dituntut tidak lepas tangan.

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.